Amrullah Hayatudin, SHI.,M.Ag

Selasa, 03 Juli 2012


USHUL FIQH BA’DA TADWIN

A.    Pendahuluan
Sebagai The Queen of Islamic Sciences,[1] ushul fiqh memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan ajaran Islam rahmatan lil ‘ālamîn. Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan humanis dari ajaran Islam sangat ditentukan oleh bangunan ushul fiqh itu sendiri. Sebagai ‘mesin produksi’ hukum Islam, ushul fiqh menempati poros dan inti dari ajaran Islam. Ushul fiqh menjadi arena untuk mengkaji batasan, dinamika dan makna hubungan antara Tuhan dan manusia. Melihat fungsinya yang demikian, rumusan ushul fiqh seharusnya bersifat dinamis dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat dinamis dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekwensi logis dari tugas ushul fiqh yang harus selalu berusaha menselaraskan problema kemanusiaan yang terus berkembang dengan pesat dan akseleratif dengan dua sumber rujukan utamanya, al-Qur`an dan as-Sunnah, yang sudah selesai dan final sejak empat belas abad silam, yadûru ma`a ‘illatihî wujûdan wa `adaman.
Ushul fiqh juga merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu daripada ilmu ushul fiqh. Secara embrional ushul fiqh telah ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan al-Hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah. Dari cerita singkat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pada masanya telah mempersiapkan para sahabat agar mempunyai alternatif cara pengambilan hukum apabila mereka tidak menemukannya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah. Namun pada masa ini belum sampai kepada perumusan dan prakteknya, karena apabila para sahabat tidak menemukan hukum dalam al-Qur’an mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah.
Berdasarkan uraian di atas diperlukan sekali adanya pemahaman tentang hukum-hukum dalam Islam yang sesuai dengan hal sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Supaya tidak terjadi simpang siur tentang sejarah penetapan hukum Islam. Dengan demikian diharapkan tidak terjadinya kesulitan didalam pemahaman sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam. Setelah melakukan penelitian kami merasa terdorong untuk mengulangi lebih lanjut masalah sejarah itu sesuai dengan hasil dan kemampuan tentang ushul fiqh ba’da tadwin.


B.     Peletak Dasar Kodifikasi Ushul Fiqh
Pembahasan tentang siapa yang menjadi peletak dasar kodifikasi ushul fiqh, hingga saat ini belum ada kata sepakat mengenai siapa orang pertama kali memulainya, sekaligus meletaka dasar-dasarnya. Menurt Rachmat Syafe’i[2] jauh sebelum ushul fiqh dibukukan, para ulama telah membuat teori-tori ushul yang dipegang oleh pengikutnya. Tak heran jika pengikut para ulama tersebut mengklaim, bahwa gurunya yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh dan menjadikannys sebagai kajian ilmu dan khazanah ilmu-ilmu islam.
Kelomppk pengikut Hanafi, mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu ushul fiqh adalah imam Abu Hanifah, dan dua orang muridnya yakni Abu Yusuf dan Muhammad Ibn al-Hasan[3]. Mereka beralasan bahwa Abu Hanifah adalah orang pertama kali menjelaskan metode istinbath dalam bukunya al-Ra’yu. Sedangkan Abu Yusuf adalah orang yang pertama menyusun ushul fiqh dalam Madzhab Hanafi, sementara Muhammad Ibnu al-Hasan teleh menyusun kitab ushul fiqh sebelum al-Syafi’i, bahkan al-Syafi’i berguru kepadanya.[4]
Mayoritas ahli sunnah dan syi’ah sepakat bahwa pandangan ini sulit diterima. Klaim ini semakin diperkuat dengan sebuah kenyataan bahwa Abu Hanifah tidak meninggalkan sebuah karya tulispun terkait dengan ilmu ushul fiqh. Abu Hanifah memang dikenal sebagai orang yang paling pertama dalam proses penyimpulan hukum dengan memepergunakan qiyas dan ijtihad dengan ra’yu. Bahkan disebutkan oleh Zamakhsyari ada sekitar 400 fatwa Abu Hanifah yang berbeda dengan nabi Muhammad Saw. namun data itu tidak cukup kalau dikatakan mampu untuk menetapkan klaim di atas.[5]
Musthafa Abdul ar-Raziq berkata, bahwa jika dianggap benar Abu Yusuf dan Muhammad Ibnu Hasan mempunyai kitab ushul fiqh, hal ini tidak lain hanyalah berdasarkan kitab yang mendukung metode istihsan Hanafiyah yang sangat ditentang oleh para ahli al-Hadits. Kalaupun abu yusuf diakui sebagai orang yang pertama yang berbicara ushul fiqh, tidaklah salah jika dikatakan bahwa al-Syafi’i juga merupakan orang yang pertama menyusunnya menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri yang mengandung kaidah-kaidah untuk rujukan setiap orang yang mengistinbathkan hukum.[6]
Kelompok Malikiyah juga mengklaim, bahwa imam malik adalah orang yang pertama berbicara tentang ushul fiqh, karena dalam al-Muwaththa Imam Malik menyinggung sebagaian kaidah ushuliyah, yakni ketika beliau menolak kemungkinan adanya dua hadits yang shahih yang berlawanan yang datang dari Rasulullah Saw. seraya mengatakan, bahwa kebenaran itu hanya akan terdapat dalam satu hadits shahih saja[7]. Namun kelompok ini tidak mengklaim bahwa Imam Malik sebagai perintis ushul fiqh, menurut Abdul Wahab Ibrahim dapat saja diterima.[8]
Syi’ah Imamiyah pun mengklaim bahwa orang pertama yang menyusun ushul fiqh adalah Muhammad al-Baqir ibnu Ali Ibnu Zain al-Abidin, kemudian diteruskan oleh puteranya al-Imam Abu Abdillah Ja’far ash-Shidiq. Pernyataan ini diungkapkan oleh As’ad Haidar, bahwa Imam Baqir adalah peletak dasar dan perintis ushul fiqh. Sedangkan orang yang pertama menyusunnya adalah al-Hisyam Ibnu Hakam yang menulis kitab al-Ahfadz (kitab Al-Ahfadz wa Mabahitsuhu), didalamnya terdapat uraian sangat penting dalam ilmu ushul. Pendapat tersebut diperjelas oleh Yunus Ibnu ar-Rahman yang menulis kitab al-Ikhtilaf al-Hadits wa Masailiha yang menguraikan pertentengan antara dua hadits dan masalah perpaduan serta pentarjihannya. Setelah itu berkembanglah ushul fiqh dengan luas.[9]
Syyid Hasan Shadr[10] mengemukakan bahwa pengasas ilmu ushul fiqh adalah Muhammad al-Baqir Ibnu Ali Ibnu Zain al-Abisin dan al-Imam Abu Abdilah Ja’far ash-Shadiq, bukan al-Syafi’i maupun Hisyam bin Hakam. Hanya saja pendapat ini dikritik oleh Abu Zahrah dengan kritikan yang menekankan pada dua point:
1.      Imam Muhammad Baqir dan Imam Ja’far Shadiq tidak memiliki karya tulis tentang ilmu ushul fiqh. Seandainya diterima maka itu sekedar kaidah-kaidh yang didiktekan kepada sahabat-sahabatnya.
2.      Sebelumnya Imam al-Syafi’i menuliskan bukunya ar-Risalah belum ada buku yang ditulis dalam ilmu ushul fiqh sepertinya. Bila ada, maka hanya sekedar risalah dan tulisan-tulisan meneganai satu masalah dalam ilmu ushul fiqh.
Golongan Syafi’iah pun mengklaim bahwa imam al-Syafi’i adalah orang pertama yang menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini diungkapkan oleh al-Alamah Jama ad-Din Abd ar-Rahman Ibnu Hasan al-Asnawi:
 “Tidak diperselishkan lagi, imam al-Syafi’i adalah titik besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab yang tidak asing lagi dan sampai pada kita sekarang, yakni kitab ar-risalah”.[11] 
Al-Faruqi dalam bukunya menyebutkan Washil bin Atha (130 H/748M), pendiri gerakan Mu’tazilah sebelumnya menguraikan beberapa prinsif yang relevan dengan ushul fiqh. Misalnya, sumber-sumber pengetahuan, perbedaan antara pernyataan berdasarkan fakta dan penilaian atau perintah, antara yang khusus dan yang universal, antara sebagian dan keseluruhan. Kendati masalah-masalah ini berkaitan dengan masalah filosofis yang timbul akibat dialog antar agama pada waktu itu, akibat masuk islamnya orang-orang Kristen yang menyukai perdebatan teologi dan metafisis serta akibat penterjemahan teks-teks filsafat yunanu, namun masalah-masalah ini memeng mempunyai konsekuensi bagi yurisprudensi. Tak syah lagi atmosfir intelektual membantu menimbulkan dan mempertajam isu teoritis mengenai hukum. Lebih lanjut al-Faruq menyebut, bahwa orang yang tampil menghadapi tantangan baru ini dengan mendirikan cabang disiplin ilmu baru (yakni ilmu ushul fiqh) adalah Muhammad ibn idris al-Syafi’i.
Sejalan dengan pendapat di atas. Syaikh Taqiyudin an-Nabhani[12] menyebutkan, bahwa al-Syafi’i memang dikenal luas telah meletakkan ilmu ushul fiqh dalam kitab beliau yang diberi nama ar-Risalah. Hanya menurutnya, kitab ini mengandung sebagian ilmu ushul, sementara sebagian ushul lagi terkandung dalam kitab-kitab beliau yang lainnya seperti kitab Ibthalu al-Istihsan dan kitab Jamm’u al-Ilmi. Bahkan pembahasan ilmu ushul fiqh terdapat disela-sela kitab al-Umm. Di dalamnya ditemukan pembahasan mengenai kaidah-kaidah kulliyat (menyeluruh) disela-sela pembahasan hukum yang bersifat furu’ (cabang).
Rachmat Syafe’i menjelaskan bahwa untuk memastikan siapa yang sesungguhnya merintis ilmu ushul fiqh sebagai sebuah cabang disiplin ilmu yang bersifat umum mencakup segala aspeknya, perlu diketahui terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam ilmu ushul fiqh yang secara garis besarnya terangkum dalam dua buah teori:[13] 
Pertama, merumuskan kaidah-kaidah fiqhiyah bagi setiap bab dalam bab-bab fiqh dan menganalisa serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Misalnya, kaidah-kaidah perburuhan. Kemudian menetapkan batasan-batasannya dan menjelaskan cara-cara mengaplikasikannya dalam kaidah-kaidah itu. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya.
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong sorang mujtahid untuk mengistinbath hukum dari sumber syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh al-Syafi’i dalam kitabnya ar-Risalah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam bidang ushul fiqh dan independen. Kitab semacam ini belum pernah ada sebelumnya menurut ijma’ ulama dan catatan sejarah.
Jalaludin al-Suyuthi berkomentar tentang kedudukan al-Syafi’i sebagai penulis pertama kitan ushul fiqh berdasarkan teori kedua di atas, dengan ungkapan:
 “Disepakati bahwa al-Syafi’i adalah peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh. Ia orang yang pertama-tama berbicara tentang itu dan menulisnya secara tersendiri. Adapun Malik dalam al-Muwatha (hanya) menunjukan sebagian kaidah-kaidahnya, demikian pula ulama-ulama lainnya semasanya, seprti Abu Yusuf dan Muhammad al-Hasan”[14]

Sehingga tidak salah ucapan seorang orientalis Inggris, N.J. Coulsen, yang mengatakan imam al-Syafi’i adalah arsitek ilmu fiqh. Dari penjelasan tersebut bahwa ar-Risalah merupakan kitab yang pertama-tama tersusun dengan metode tersendiri, objek bahasan dan permasalahnya juga tersendiri, tanpa terkait dengan kitab-kitab fiqh manapun. Sehingga wajar jika penulisnya disebut-sebut sebagai arsitek ushul fiqh[15]. Dalam karya-karyanya beliau mendefiniskan prinsif-prinsif deduksi (qiyas) dari teks dan menerpkan kriteria untuk keabsahan penerapannya. Beliau memeriksa hujjiyah atau bobot kebenaran sunnah, menyamakan kekuatan hukum dengan kekuatan hukum al-Qur’an. Beliau juga memeriksa istihsan (penetapan hukum), yang menurutnya tidak mempunyai kekuatan kebenaran, tradisi sahabat nabi menurutnya tak ada kecuali dalam ibadah dan penyampaian al-Qur’an itu sendiri.[16]

C.    Tahapan Perkembangan Kodifikasi Ushul Fiqh
Rachmat Syafe’i[17] membagi tahap perkembangan ilmu ushul fiqh ke dalam tiga tahapan:
1.      Tahap Awal (Abad 3 H).
Dalam kekuasaan pemerintahan Abbasiyah, wilayah islam semakin meluas ke Wilayah Timur. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang berkuasa pada masa itu adalah: al-Makmun (w. 218 H), al-Mutasim (w 227 H), al-Wasiq (w 232 H), dan al-Mutawakil (w 247 H). Pada masa itu mereka inilah terjadi sesuatu kebangkitan ilmiah di kalangan Islam, yang dimulai sejak masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid. Kebangkitan pemikiran pada masa ini ditandai dengan timbulnya semangat penerjemahan dikalangan ilmuwan muslim. Buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan dalam bahasa Arab dan kemudian diberi penjelasan (syarah).[18] Disamping itu ilmu-ilmu keagamaan juga berkembang dan semakin meluas objek pembahasannya. Hampir dapat dikatakan, bahwa tidak ada ilmu keislaman yang berkembang sesudah Abbasiyah kecuali yang dirintis atau diletakan dasar-dasarnya pada zaman Abbasiyah ini.[19] Salah satunya berkembangnya bidang fiqh yang lebih lanjut mendorong penyusunan metode berfikir yang disebut ushul fiqh dan upaya pengkodifikasiannya sehingga menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri yang disebut ilmu ushul fiqh.
Sebagaimana telah disebutkan. Kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun secara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh adalah ar-Risalah karya imam al-Syafi’i, kitab ini ini dinilai para ulama sebagai kitab yang berbilai tinggi, ar-Razi berkata: Kedudukan al-Syafi’i dalam ilmu ushul fiqh setingkat dengan kedudukan aristo dalam ilmu mantiq, dan kedudukan al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu ‘Arud”. Ulama sebelum al-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikannya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadikan rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi serta mentarjihkannya; maka datanglah al-Syafi’i menyusun ilmu ushul fiqh yang merupakan kaidah-kadiah umum (Qonun kully) dan dijadikan rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’i. kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah al-Syafi’i, mereka tetap bergantung pada al-Syafi’i karena al-Syafi’i-lah yang membuka jalan untuk pertama kalinya.
Disamping kitab ar-Risalah, di abad 3 H ini telah tersusun pula sejumlah kitab ushul fiqh lainnya. Hanya saja kitab-kitab ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh secara utuh sebagaimana kitab ar-Risalah, diantaranya:
·         Istbath al-Qiyas, Khabar al-Walid dan Ijtihad al-Ra’yu karya Isa Ibnu Iban (w 221 H)
·         Al-Nakt karya Ibrahim Ibnu Syiyar al-Nazhzham (w 22 H)
·         Al-Ijma’ al-Ibthal al-Taqlid, al-Ibthal al-Qiyas, al-Khabar al-Mujib lil Al-’Ilmi, al-Hujjat, al-Khushush wa al-‘Umum, al-Mufassr wa al-Mujmal dan kitab al-Ushul yang menolak penggunaan ijma’ dan qiyas dalam penetapan hukum karya Ibnu Ali Ibnu Daud azh-Zhahiri (w 270 H).
·         Al-Ushul fi al-Ma’rifat al-Ushul karya Muhammad ibnu Daud Ibnu Ali al-Khalf azh-Zhahiri (w 297 H).
Hal lain yang dapat dicatat pada abad ini adalah lahirnya ulama-ulama besar yang meletakkan dasar berdirinya madzhab-madzhab fiqh. Para pengikut mereka semakin menunjukkan perbedaan dalam mengungkapkan pemikiran ushul fiqh dari pada imamnua. Al-Syafi’i dan Syafi’iyah misalnya, tidak menerima cara penggunaan istihsan yang mashur dikalangan Hanafiyah. Sebaliknya Hanafiyah yang cenderung (dianggap) agak pragmatik dan rasional liberal,[20] tidak menggunakan cara-cara pengambilan hukum berdasarkan hadits-hadits yang dipegang imam al-Syafi’i. Sementara itu, kaum ahl al-Hadits pada umumnya dan kaum zhahiriyah pengikut Daud azh-Zhairi pada khususnya, tidak menyetujui metode-metode dari kedua golongan tersebut, namun golongan terakhir mempunyai metode tersendiri dalam qiyas dan ta’wil.[21]

2.      Tahap perkembangan (abad 4 H)
Di abad ke-4 ini, dinasti Abbasiyah mulai mengalami kelemahan politik akibat ancaman disintegrasi dan maraknya kemunculan wilayah otonomi luas di negeri-negeri Islam yang jauh dari pusat kekhalifahan (seperti halnya wilayah di Barat dan Andalusia).[22] Hanya saja kelemahan ini tidak sampai berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan ulama ketika itu. Bahkan pada masa itu, trend kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan sangat melimpah, termasuk bidang ilmu ushul fiqh, dimana ilmu ini mengalami pertumbuhan dan pematangan.[23]
Mengutip pendapat Ahmad Amin, Rachmat Syafe’i dalam bukunya menyebutkan bahwa bidang pemikiran fiqh Islam di abad empat ini memiliki karakter tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad mutlak berhenti pada abad ini. Mereka menganggap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan, sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikirannya yang khas, terkecuali hal-hal yang kecil saja. Akibatnya, aliran-aliran fiqh yang ada di masa ini semakin mantap eksistensinya, apalagi disertai oleh fanatisme dan pembelaan dikalangan para penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut suatu madzhab sewaktu-waktu.[24] Terlebih di masa itu ada seruan untuk menutup pintu ijtihad (diserukan oleh al-Qaffal, w 350 H), sehingga berpengaruh pada stagnasi perkembangan fiqh Islam.[25]
Kondisi ini berpengaruh buruk pada perkembangan fiqh, namun ilmu ushul fiqh justru berkembang pesat, apalagi masing-masing madzhab menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini, antara lain ditandai dengan maraknya praktek-praktek tahqiq, pembahasan dan syarah atas kitab-kitab ushul yang sudah ada sebelumnya melalui proses evaluasi atas kaidah-kaidah ushul tertentu dan penelusuran sampai pada akar-akarnya. Kemudian pembahasan dan syarah ini disusun dalam berbagai buku.[26]

D.    Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab
            Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh.
Imam Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad ke-7 ke abad ke-8 hijriyah, misalnya, menginventarisir sembilan belas dalil hukum, baik yang disepakati maupun yang dipertentangkan para ulama, yang masih dikenal pada masanya. Kesembilan belas dalil hukum itu antara lain:
1.      Al-Qur’an                                                                
2.      Al-Hadits
3.      Ijma’ ummat
4.      Ijma’ orang Madinah
5.      Qiyas,
6.      Pendapat sahabat
7.      Maslahah mursalah
8.      Istishab
9.      Bara’ah ashliyah
10.  Adat/‘urf
11.  Istiqra’ (induksi)
12.  Sadd al-dzariah (tindakan preventif)
13.  Istidlal
14.  Istihsan
15.  Mengambil yang lebih mudah
16.  Ishmah
17.  Ijma’ orang Kufah
18.  Ijma’ sepuluh orang, dan
19.  Ijma khulafa’ yang empat (khulafa’ rasyidun).[27]      
Perdebatan mengenai dalil hukum, baik tentang sunnah, amal ahli Madinah, istihsan, qiyas, maslahah mursalah, ijma’, ra’yu, mencapai puncaknya.  Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika ada al-Hadits Rasulullah diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari Rasulullah. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah, yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.
Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak Imam laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan al-Hadits, meskipun al-Hadits itu ahad.
Orang Iraq, khususnya Imam Abu Hanifah, mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas, meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut ditentang ulama lain dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Iraq juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Iraq, mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah Saw., tetapi riwayat tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.
Penggunaan amal Madinah oleh Imam Malik dan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tidak berarti keduanya mengabaikan al-Hadits. al-Qur’an dan al-Hadits tetap menjadi pilar utama istinbath hukum. Imam Malik adalah orang pertama yang menyusun kitab hadits, yaitu dalam kitabnya al-Muwaththa’. Kitab al-Muwaththa’ adalah kitab hadits yang dipergunakan sebagai dasar pemecahan masalah hukum sehingga disusun dengan sistematika fiqh. Imam Abu Hanifah dan para muridnya juga sangat menghargai hadits. Hasil istinbath hukum Imam Abu Hanifah dan orang-orang Iraq juga dipenuhi dengan dasar al-Qur’an dan al- Hadits.
Penolakan terhadap hadits tertentu terjadi karena keduanya mengutamakan riwayat yang kuat. Bagi Imam Malik, amalan orang Madinah sangat kuat karena diamalkan ribuan sahabat sejak masa Nabi Muhammad. Jadi, amalan orang Madinah tidak bisa dikalahkan hanya oleh riwayat satu dua orang saja. Apabila riwayat tersebut bisa dibuktikan secara meyakinkan tentu Imam Malik akan menerimanya. Hal yang sama terjadi dengan Imam Abu Hanifah. Terjadinya pemalsuan hadits membuat orang-orang Iraq bertindak selektif. Apabila ada riwayat yang diragukan kesahihannya, mereka lebih merasa aman mempergunakan makna umum Al-Qur’an dan menjabarkannya melalui ra’yu (nalar) mereka. Akan tetapi, kalau ada hadits yang shahih tentu hadits tersebut yang dijadikan sandaran.
Sejalan dengan munculnya pemalsuan hadits tersebut, muncullah aliran ingkar al-Sunnah. Aliran tersebut berpandangan bahwa Al-Qur’an saja sudah cukup dijadikan sebagai pedoman, tanpa perlu mempertimbangkan hadits. Aliran tersebut adalah kelompok yang frustasi akibat terjadinya pemalsuan hadits sehingga menolak keseluruhan hadits, tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Memang pada masa tersebut Imam Bukhari, Imam Muslim dan para pengumpul hadits belum banyak seperti pada abad ke-4 Hijriyah, meskipun telah ada beberapa kitab hadits. Terhadap munculnya aliran ingkar al-Sunnah tersebut, Imam Syafi’i bekerja keras membantah argumentasi kelompok ingkar al-Sunnah. Perdebatan Imam Syafi’i dengan ingkar al-Sunnah bisa dibaca dalam kitab al-Umm.
Imam Syafi’i kemudian mengajukan sistematika dalil hukum yang utama, yaitu:
1.      Al-Qur’an
2.      Sunnah
3.      Ijma’
4.      Qiyas
Melalui sistematika tersebut, Imam Syafi’i menegaskan kembali Al-Qur’an sebagai sumber pertama, sedangkan hadits sebagai sumber kedua. Dengan rumusan semacam itu, dia menolak pandangan ingkar al-Sunnah dan juga menolak sikap sebagian ulama ushul yang mendahulukan amalan orang Madinah atau makna umum Al-Qur’an dibandingkan hadits ahad. Gagasan demikianlah yang kemudian melahirkan Madzhab Syafi‘i.
            Imam Syafi’i melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma’ dan qiyas para oleh pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’ orang Kufah. Beliau  menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’ umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah orang Madinah, atau ijma’ sahabat saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas dilakukan, yaitu melalui empat rukun qiyas, yang akan dibahas dalam bab qiyas nanti.
Karya Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh.[28]
Di kalangan Madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul fiqh.[29] Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Klaim golongan Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan dengan munculnya gagasan metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak memulai segalanya dari ruang kosong. Rumusan-rumusan yang beliau tulis tentu telah dibicarakan orang pada masanya. Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq memang kaya dan maju di masa itu. Hanya saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki bukti otentik, berupa karya, yang bisa menjadi patokan bagi dimulainya ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri.
Setelah lahirnya kitab al-Risalah, perdebatan mengenai aspek metodologis masih terjadi dan perbedaan pendapat pun masih ada. Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun murid Imam Syafi‘i, hanya menerima ijma‘ sahabat, bukan ijma‘ umat. Imam Dawud al-Dzahiri menolak penggunaan qiyas dan lebih condong untuk menggunakan makna universal lafal Al-Qur’an atau al-Hadits untuk diberlakukan kepada kasus-kasus baru.

E.     Kelahiran Karya-karya Besar Ushul Fiqh
Puncak perkembangan ushul fiqh terjadi sekitar pada abad ke-5 Hijriyah. Pada masa tersebut, lahir para ulama dan karya-karya ushul fiqh kenamaan yang menjadi rujukan kitab-kitab ushul fiqh di kemudian hari. Di antara kitab-kitab penting ushul fiqh yang lahir pada abad ke-5 tersebut antara lain:
1.      Kitab al-Ahd atau al-Amd karya Qadli Abd al-Jabbar al-Mu‘tazili (w. 415H/1024M)
2.      Kitab al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri al-Mu’tazili (w. 436H 1044M)
3.      Kitab al-‘Uddah karya Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458H/1065M)
4.      Kitab al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam karya Ibnu Hazm al-Dzahiri (w. 456H/1062M)
5.      Kitab al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi‘i (w. 467H /1083 M)
6.      Kitab al-Burhan karya Al-Juwayni al-Syafi‘i (w. 478H /1085M)
7.      Kitab Ushul Al-Sarakhsi karya Imam al-Sarakahsi al-Hanafi (w. 490H/1096M).

Imam Abu Hamid Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau abad ke-6, tetapi sebagian hidupnya dihabiskan pada abad ke k-5. Karena itu, kitab al-Mustashfa karya al-Ghazali dapat dimasukkan ke dalam jajaran kitab yang dilahirkan ulama abad ke-5.
Di antara kitab-kitab di atas, ada empat kitab yang kemudian memperoleh pengakuan sebagai kitab terbaik dan mempengaruhi perkembangan ushul fiqh selanjutnya di kalangan mutakallimin, yaitu al-Ahd karya Qadli Abdul Jabbar, al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri, al-Burhan karya al-Juwayni, dan al-Musthasfa karya al-Ghazali. Kitab-kitab tersebut disebut Ibnu Khaldun sebagai kitab ushul fiqh terbaik. Empat kitab tersebut kemudian diringkas dan dijabarkan kembali oleh para ulama setelahnya, khususnya para ulama abad ke-7 Hijriyyah, seperti Fakhruddin al-Razi, al-Amidi, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan sebagainya.
Karena itu, muncullah beberapa kesepakatan dalam berbagai kitab ushul mengenai sistematikasi bahasan kitab ushul. Bahasan mengenai hukum, kaidah-kaidah-kaidah kebahasaan, kaidah naskh dan tarjih, dalil hukum, dan ijtihad hampir ada di semua kitab ushul fiqh mutakallimin yang berakar dari empat kitab di atas. Perbedaan bahasan terjadi dalam beberapa aspek, misalnya tentang pengantar logika, pembahasan kalam, dan tentang huruf, yang ada disebagian kitab ushul dan tidak ada disebagian kitab ushul yang lain.[30]

F.     Kesimpulan  
Ushul fiqh juga merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Pembahasan tentang siapa yang menjadi peletak dasar kodifikasi ushul fiqh, hingga saat ini belum ada kata sepakat mengenai siapa orang pertama kali memulainya, sekaligus meletaka dasar-dasarnya. Karena jauh sebelum ushul fiqh dibukukan, para ulama telah membuat teori-tori ushul yang dipegang oleh pengikutnya. Tak heran jika pengikut para ulama tersebut mengklaim, bahwa gurunya yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh dan menjadikannya sebagai kajian ilmu dan khazanah ilmu-ilmu Islam.
Namun dari pemaparan makalah di atas penulis mengambil kesimpulan dan menganalisis bahwa ulama yang pertama kali menyusun sebuah kitab ushul secara sistemastis adalah imam Muhammad idris ibn al-Syafi’i yang kita kenal sebagai imam al-Syafi’i yang mana beliau sebagai founding father madzhab syafi’iyah. Jadi imam syafi’I bukan sebagai orang pertama yang mendesain ushul fiqh beliau hanya sebagai penyusun atau penulis ilmu ushul fiqh secara sistematis karena jauh sebelum imam al-Syafi’i para ulama sudah memperkenalkan ilmu tersebut.
Wallahu A’lam Bishawab….


























DAFTAR PUSTAKA

Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law, (Pakistan: Islamic Research Institute and International Institute of Islamic Thought, 1945)
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Iyad hilal, Studi Tentang Ushul Fiqh (terj), Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005
Saleh Lapadi, Ushul Fiqh: “Pengasas Dan Penyusun” www.islaminteraktif.net 2009 
Taqiyudin an-Nabhani, Syakhsiyah Islam (terj): Pustaka Thariqul Izzah, 2003
Yusuf Isy, Dinasti Abbasiyah (terj). Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007
Hafidz Abdurahman, Ushul Fiqh, Membangun Paradigm Berfikir Tasyr’i, Bogor: al-Ashar Press, 2003
Najmuddin al-Thufi, al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan. 1998
Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat juga Noel James Coulson. History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press. 1964
Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh. Cambridge:  Cambridge University Press. 1997



[1] Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law, (Pakistan: Islamic Research Institute and International Institute of Islamic Thought, 1945), hal. 1
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2007, hal. 27
[3] Iyad hilal, Studi Tentang Ushul Fiqh (terj), Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005, hal. 116
[4] Rachmat Syafe’i, op. cit, hal. 28
[5] Saleh Lapadi, Ushul Fiqh: “Pengasas Dan Penyusun” www.islaminteraktif.net 2009 
[6] Ibid.,
[7] Rachmat Syafe’i, op. cit, hal 32
[8] Ibid.,
[9] Ibid., perdebatan ini juga terdapat dalam tulisal saleh lapadi, loc. cit
[10] Saleh Lapdi, loc.cit.
[11] Ibid., hal 29
[12]  Taqiyudin an-Nabhani, Syakhsiyah Islam (terj): Pustaka Thariqul Izzah, 2003, hal. 501
[13] Rachmat Syafe’i, op. cit, hal 29
[14] Ibid
[15] Lihat Iyad Hilal, op.cit., hal 122
[16] Ismail R. al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi., op.cit, hal 307
[17] Rachmat Syafe’i, op.cit., hal 30
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Al-Hawji dalam Rachmat Syafe’i, op.cit. hal 31
[21] Sulaiman dalam Rachmat Syafe’i, loc.cit.
[22] Yusuf Isy, Dinasti Abbasiyah (terj). Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, hal 53
[23] Ismail R. Al-Faruqi dan Lois lamya al-Faruqi., loc.cit
[24] Rachmat Syafe’i., op. cit hal 32
[25] Lih hafidz Abdurahman, Ushul Fiqh, Membangun Paradigm Berfikir Tasyr’i, Bogor: al-Ashar Press, 2003, hal 24
[26] Ismail R. Al-Faruqi dan Lois lamya al-Faruqi., loc.cit
[27] Najmuddin al-Thufi. al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan. 1998. h. 237-238.
[28] Lihat Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat  juga Noel James Coulson. History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press. 1964. h. 53 dst.
[29] Lihat Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh. Cambridge:  Cambridge University Press. 1997. h. 127
[30] Imam al-Syirazi dikenal sebagai pengikut Syafi’i yang non-Asy’ariyyah dan menjadi rival Imam al-Juwayni dalam perdebatan (munadzarah) teologis. Lihat catatan mengenai perdebatan teologis Abu Ishaq al-Syirazi dan Al-Juwayni dalam George al-Makdisi. The Rise of Colledge: Institution of Learning in Islam and in The West.Edinburgh: Edinburgh University Press. 1981. h. 154.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar