USHUL FIQH
BA’DA TADWIN
A.
Pendahuluan
Sebagai The Queen of Islamic Sciences,[1]
ushul fiqh memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan ajaran Islam
rahmatan lil ‘ālamîn. Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan humanis
dari ajaran Islam sangat ditentukan oleh bangunan ushul fiqh itu sendiri.
Sebagai ‘mesin produksi’ hukum Islam, ushul fiqh menempati poros dan inti dari
ajaran Islam. Ushul fiqh menjadi arena untuk mengkaji batasan, dinamika dan
makna hubungan antara Tuhan dan manusia. Melihat fungsinya yang demikian,
rumusan ushul fiqh seharusnya bersifat dinamis dan terbuka terhadap upaya-upaya
penyempurnaan. Sifat dinamis dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai
konsekwensi logis dari tugas ushul fiqh yang harus selalu berusaha
menselaraskan problema kemanusiaan yang terus berkembang dengan pesat dan
akseleratif dengan dua sumber rujukan utamanya, al-Qur`an dan as-Sunnah, yang
sudah selesai dan final sejak empat belas abad silam, yadûru ma`a ‘illatihî
wujûdan wa `adaman.
Ushul
fiqh juga merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul
fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam
menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu
daripada ilmu ushul fiqh. Secara embrional ushul fiqh telah ada bahkan ketika
Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan al-Hadits yang meriwayatkan
bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika diutus untuk
menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila dia harus
menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun
as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan terakhir ini bahwa
dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata jawaban Muadz
tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah. Dari cerita singkat tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pada masanya telah mempersiapkan para
sahabat agar mempunyai alternatif cara pengambilan hukum apabila mereka tidak
menemukannya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah. Namun pada masa ini belum sampai
kepada perumusan dan prakteknya, karena apabila para sahabat tidak menemukan
hukum dalam al-Qur’an mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah.
Berdasarkan
uraian di atas diperlukan sekali adanya pemahaman tentang hukum-hukum dalam
Islam yang sesuai dengan hal sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Supaya
tidak terjadi simpang siur tentang sejarah penetapan hukum Islam. Dengan demikian
diharapkan tidak terjadinya kesulitan didalam pemahaman sejarah pertumbuhan dan
perkembangan hukum Islam. Setelah melakukan penelitian kami merasa terdorong
untuk mengulangi lebih lanjut masalah sejarah itu sesuai dengan hasil dan
kemampuan tentang ushul fiqh ba’da tadwin.
B.
Peletak Dasar
Kodifikasi Ushul Fiqh
Pembahasan
tentang siapa yang menjadi peletak dasar kodifikasi ushul fiqh, hingga saat ini
belum ada kata sepakat mengenai siapa orang pertama kali memulainya, sekaligus
meletaka dasar-dasarnya. Menurt Rachmat Syafe’i[2]
jauh sebelum ushul fiqh dibukukan, para ulama telah membuat teori-tori ushul
yang dipegang oleh pengikutnya. Tak heran jika pengikut para ulama tersebut
mengklaim, bahwa gurunya yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh dan
menjadikannys sebagai kajian ilmu dan khazanah ilmu-ilmu islam.
Kelomppk
pengikut Hanafi, mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu ushul fiqh adalah
imam Abu Hanifah, dan dua orang muridnya yakni Abu Yusuf dan Muhammad Ibn al-Hasan[3].
Mereka beralasan bahwa Abu Hanifah adalah orang pertama kali menjelaskan metode
istinbath dalam bukunya al-Ra’yu. Sedangkan Abu Yusuf adalah orang yang pertama
menyusun ushul fiqh dalam Madzhab Hanafi, sementara Muhammad Ibnu al-Hasan
teleh menyusun kitab ushul fiqh sebelum al-Syafi’i, bahkan al-Syafi’i berguru
kepadanya.[4]
Mayoritas
ahli sunnah dan syi’ah sepakat bahwa pandangan ini sulit diterima. Klaim ini
semakin diperkuat dengan sebuah kenyataan bahwa Abu Hanifah tidak meninggalkan
sebuah karya tulispun terkait dengan ilmu ushul fiqh. Abu Hanifah memang
dikenal sebagai orang yang paling pertama dalam proses penyimpulan hukum dengan
memepergunakan qiyas dan ijtihad dengan ra’yu. Bahkan disebutkan oleh Zamakhsyari
ada sekitar 400 fatwa Abu Hanifah yang berbeda dengan nabi Muhammad Saw. namun
data itu tidak cukup kalau dikatakan mampu untuk menetapkan klaim di atas.[5]
Musthafa
Abdul ar-Raziq berkata, bahwa jika dianggap benar Abu Yusuf dan Muhammad Ibnu
Hasan mempunyai kitab ushul fiqh, hal ini tidak lain hanyalah berdasarkan kitab
yang mendukung metode istihsan Hanafiyah yang sangat ditentang oleh para ahli al-Hadits.
Kalaupun abu yusuf diakui sebagai orang yang pertama yang berbicara ushul fiqh,
tidaklah salah jika dikatakan bahwa al-Syafi’i juga merupakan orang yang
pertama menyusunnya menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri yang mengandung
kaidah-kaidah untuk rujukan setiap orang yang mengistinbathkan hukum.[6]
Kelompok
Malikiyah juga mengklaim, bahwa imam malik adalah orang yang pertama berbicara
tentang ushul fiqh, karena dalam al-Muwaththa Imam Malik menyinggung
sebagaian kaidah ushuliyah, yakni ketika beliau menolak kemungkinan adanya dua hadits
yang shahih yang berlawanan yang datang dari Rasulullah Saw. seraya mengatakan,
bahwa kebenaran itu hanya akan terdapat dalam satu hadits shahih saja[7].
Namun kelompok ini tidak mengklaim bahwa Imam Malik sebagai perintis ushul
fiqh, menurut Abdul Wahab Ibrahim dapat saja diterima.[8]
Syi’ah
Imamiyah pun mengklaim bahwa orang pertama yang menyusun ushul fiqh adalah
Muhammad al-Baqir ibnu Ali Ibnu Zain al-Abidin, kemudian diteruskan oleh
puteranya al-Imam Abu Abdillah Ja’far ash-Shidiq. Pernyataan ini diungkapkan
oleh As’ad Haidar, bahwa Imam Baqir adalah peletak dasar dan perintis ushul
fiqh. Sedangkan orang yang pertama menyusunnya adalah al-Hisyam Ibnu Hakam yang
menulis kitab al-Ahfadz (kitab Al-Ahfadz wa Mabahitsuhu),
didalamnya terdapat uraian sangat penting dalam ilmu ushul. Pendapat tersebut
diperjelas oleh Yunus Ibnu ar-Rahman yang menulis kitab al-Ikhtilaf al-Hadits
wa Masailiha yang menguraikan pertentengan antara dua hadits dan
masalah perpaduan serta pentarjihannya. Setelah itu berkembanglah ushul fiqh
dengan luas.[9]
Syyid
Hasan Shadr[10]
mengemukakan bahwa pengasas ilmu ushul fiqh adalah Muhammad al-Baqir Ibnu Ali
Ibnu Zain al-Abisin dan al-Imam Abu Abdilah Ja’far ash-Shadiq, bukan al-Syafi’i
maupun Hisyam bin Hakam. Hanya saja pendapat ini dikritik oleh Abu Zahrah dengan
kritikan yang menekankan pada dua point:
1.
Imam
Muhammad Baqir dan Imam Ja’far Shadiq tidak memiliki karya tulis tentang ilmu
ushul fiqh. Seandainya diterima maka itu sekedar kaidah-kaidh yang didiktekan
kepada sahabat-sahabatnya.
2.
Sebelumnya
Imam al-Syafi’i menuliskan bukunya ar-Risalah belum ada buku yang ditulis dalam
ilmu ushul fiqh sepertinya. Bila ada, maka hanya sekedar risalah dan
tulisan-tulisan meneganai satu masalah dalam ilmu ushul fiqh.
Golongan
Syafi’iah pun mengklaim bahwa imam al-Syafi’i adalah orang pertama yang
menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini diungkapkan oleh al-Alamah Jama ad-Din Abd ar-Rahman
Ibnu Hasan al-Asnawi:
“Tidak diperselishkan lagi, imam al-Syafi’i
adalah titik besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab
yang tidak asing lagi dan sampai pada kita sekarang, yakni kitab ar-risalah”.[11]
Al-Faruqi
dalam bukunya menyebutkan Washil bin Atha (130 H/748M), pendiri gerakan Mu’tazilah
sebelumnya menguraikan beberapa prinsif yang relevan dengan ushul fiqh.
Misalnya, sumber-sumber pengetahuan, perbedaan antara pernyataan berdasarkan
fakta dan penilaian atau perintah, antara yang khusus dan yang universal,
antara sebagian dan keseluruhan. Kendati masalah-masalah ini berkaitan dengan
masalah filosofis yang timbul akibat dialog antar agama pada waktu itu, akibat
masuk islamnya orang-orang Kristen yang menyukai perdebatan teologi dan
metafisis serta akibat penterjemahan teks-teks filsafat yunanu, namun
masalah-masalah ini memeng mempunyai konsekuensi bagi yurisprudensi. Tak syah
lagi atmosfir intelektual membantu menimbulkan dan mempertajam isu teoritis
mengenai hukum. Lebih lanjut al-Faruq menyebut, bahwa orang yang tampil
menghadapi tantangan baru ini dengan mendirikan cabang disiplin ilmu baru
(yakni ilmu ushul fiqh) adalah Muhammad ibn idris al-Syafi’i.
Sejalan
dengan pendapat di atas. Syaikh Taqiyudin an-Nabhani[12]
menyebutkan, bahwa al-Syafi’i memang dikenal luas telah meletakkan ilmu ushul
fiqh dalam kitab beliau yang diberi nama ar-Risalah. Hanya menurutnya, kitab
ini mengandung sebagian ilmu ushul, sementara sebagian ushul lagi terkandung
dalam kitab-kitab beliau yang lainnya seperti kitab Ibthalu al-Istihsan dan
kitab Jamm’u al-Ilmi. Bahkan pembahasan ilmu ushul fiqh terdapat disela-sela
kitab al-Umm. Di dalamnya ditemukan pembahasan mengenai kaidah-kaidah kulliyat
(menyeluruh) disela-sela pembahasan hukum yang bersifat furu’ (cabang).
Rachmat
Syafe’i menjelaskan bahwa untuk memastikan siapa yang sesungguhnya merintis
ilmu ushul fiqh sebagai sebuah cabang disiplin ilmu yang bersifat umum mencakup
segala aspeknya, perlu diketahui terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam
ilmu ushul fiqh yang secara garis besarnya terangkum dalam dua buah teori:[13]
Pertama, merumuskan kaidah-kaidah fiqhiyah bagi setiap bab dalam bab-bab
fiqh dan menganalisa serta mengaplikasikan masalah furu’ atas
kaidah-kaidah tersebut. Misalnya, kaidah-kaidah perburuhan. Kemudian menetapkan
batasan-batasannya dan menjelaskan cara-cara mengaplikasikannya dalam
kaidah-kaidah itu. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan
merekalah yang merintisnya.
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong sorang mujtahid
untuk mengistinbath hukum dari sumber syar’i, tanpa terikat oleh pendapat
seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan.
Cara inilah yang ditempuh al-Syafi’i dalam kitabnya ar-Risalah, suatu kitab
yang tersusun secara sempurna dalam bidang ushul fiqh dan independen. Kitab
semacam ini belum pernah ada sebelumnya menurut ijma’ ulama dan catatan
sejarah.
Jalaludin
al-Suyuthi berkomentar tentang kedudukan al-Syafi’i sebagai penulis pertama
kitan ushul fiqh berdasarkan teori kedua di atas, dengan ungkapan:
“Disepakati bahwa al-Syafi’i
adalah peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh. Ia orang yang pertama-tama
berbicara tentang itu dan menulisnya secara tersendiri. Adapun Malik dalam al-Muwatha
(hanya) menunjukan sebagian kaidah-kaidahnya, demikian pula ulama-ulama lainnya
semasanya, seprti Abu Yusuf dan Muhammad al-Hasan”[14]
Sehingga
tidak salah ucapan seorang orientalis Inggris, N.J. Coulsen, yang mengatakan
imam al-Syafi’i adalah arsitek ilmu fiqh. Dari penjelasan tersebut bahwa ar-Risalah
merupakan kitab yang pertama-tama tersusun dengan metode tersendiri, objek
bahasan dan permasalahnya juga tersendiri, tanpa terkait dengan kitab-kitab
fiqh manapun. Sehingga wajar jika penulisnya disebut-sebut sebagai arsitek
ushul fiqh[15].
Dalam karya-karyanya beliau mendefiniskan prinsif-prinsif deduksi (qiyas) dari
teks dan menerpkan kriteria untuk keabsahan penerapannya. Beliau memeriksa hujjiyah
atau bobot kebenaran sunnah, menyamakan kekuatan hukum dengan kekuatan hukum
al-Qur’an. Beliau juga memeriksa istihsan (penetapan hukum), yang menurutnya
tidak mempunyai kekuatan kebenaran, tradisi sahabat nabi menurutnya tak ada
kecuali dalam ibadah dan penyampaian al-Qur’an itu sendiri.[16]
C.
Tahapan Perkembangan Kodifikasi Ushul Fiqh
Rachmat
Syafe’i[17]
membagi tahap perkembangan ilmu ushul fiqh ke dalam tiga tahapan:
1.
Tahap Awal (Abad 3 H).
Dalam kekuasaan pemerintahan Abbasiyah,
wilayah islam semakin meluas ke Wilayah Timur. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang
berkuasa pada masa itu adalah: al-Makmun (w. 218 H), al-Mutasim (w 227 H), al-Wasiq
(w 232 H), dan al-Mutawakil (w 247 H). Pada masa itu mereka inilah terjadi
sesuatu kebangkitan ilmiah di kalangan Islam, yang dimulai sejak masa
pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid. Kebangkitan pemikiran pada masa ini
ditandai dengan timbulnya semangat penerjemahan dikalangan ilmuwan muslim.
Buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan dalam bahasa Arab dan kemudian diberi
penjelasan (syarah).[18]
Disamping itu ilmu-ilmu keagamaan juga berkembang dan semakin meluas objek
pembahasannya. Hampir dapat dikatakan, bahwa tidak ada ilmu keislaman yang
berkembang sesudah Abbasiyah kecuali yang dirintis atau diletakan
dasar-dasarnya pada zaman Abbasiyah ini.[19]
Salah satunya berkembangnya bidang fiqh yang lebih lanjut mendorong penyusunan
metode berfikir yang disebut ushul fiqh dan upaya pengkodifikasiannya sehingga
menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri yang disebut ilmu ushul fiqh.
Sebagaimana telah disebutkan. Kitab
ushul fiqh yang pertama-tama tersusun secara utuh dan terpisah dari kitab-kitab
fiqh adalah ar-Risalah karya imam al-Syafi’i, kitab ini ini dinilai para ulama
sebagai kitab yang berbilai tinggi, ar-Razi berkata: Kedudukan al-Syafi’i dalam
ilmu ushul fiqh setingkat dengan kedudukan aristo dalam ilmu mantiq, dan kedudukan
al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu ‘Arud”. Ulama sebelum al-Syafi’i berbicara
tentang masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikannya pegangan, tetapi mereka
belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadikan rujukan dalam mengetahui
dalil-dalil syari’at dan cara memegangi serta mentarjihkannya; maka datanglah al-Syafi’i
menyusun ilmu ushul fiqh yang merupakan kaidah-kadiah umum (Qonun kully)
dan dijadikan rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’i.
kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah al-Syafi’i,
mereka tetap bergantung pada al-Syafi’i karena al-Syafi’i-lah yang membuka
jalan untuk pertama kalinya.
Disamping kitab ar-Risalah, di abad
3 H ini telah tersusun pula sejumlah kitab ushul fiqh lainnya. Hanya saja
kitab-kitab ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh secara utuh
sebagaimana kitab ar-Risalah, diantaranya:
·
Istbath
al-Qiyas, Khabar al-Walid dan Ijtihad al-Ra’yu
karya Isa Ibnu Iban (w 221 H)
·
Al-Nakt karya Ibrahim Ibnu Syiyar al-Nazhzham (w 22 H)
·
Al-Ijma’
al-Ibthal al-Taqlid, al-Ibthal al-Qiyas, al-Khabar al-Mujib lil Al-’Ilmi, al-Hujjat,
al-Khushush wa al-‘Umum, al-Mufassr wa al-Mujmal dan kitab al-Ushul yang menolak penggunaan ijma’ dan qiyas
dalam penetapan hukum karya Ibnu Ali Ibnu Daud azh-Zhahiri (w 270 H).
·
Al-Ushul
fi al-Ma’rifat al-Ushul karya Muhammad
ibnu Daud Ibnu Ali al-Khalf azh-Zhahiri (w 297 H).
Hal lain yang dapat dicatat pada
abad ini adalah lahirnya ulama-ulama besar yang meletakkan dasar berdirinya
madzhab-madzhab fiqh. Para pengikut mereka semakin menunjukkan perbedaan dalam
mengungkapkan pemikiran ushul fiqh dari pada imamnua. Al-Syafi’i dan Syafi’iyah
misalnya, tidak menerima cara penggunaan istihsan yang mashur dikalangan
Hanafiyah. Sebaliknya Hanafiyah yang cenderung (dianggap) agak pragmatik dan
rasional liberal,[20]
tidak menggunakan cara-cara pengambilan hukum berdasarkan hadits-hadits yang
dipegang imam al-Syafi’i. Sementara itu, kaum ahl al-Hadits pada umumnya
dan kaum zhahiriyah pengikut Daud azh-Zhairi pada khususnya, tidak
menyetujui metode-metode dari kedua golongan tersebut, namun golongan terakhir
mempunyai metode tersendiri dalam qiyas dan ta’wil.[21]
2.
Tahap perkembangan (abad 4 H)
Di abad ke-4 ini, dinasti Abbasiyah mulai
mengalami kelemahan politik akibat ancaman disintegrasi dan maraknya kemunculan
wilayah otonomi luas di negeri-negeri Islam yang jauh dari pusat kekhalifahan
(seperti halnya wilayah di Barat dan Andalusia).[22]
Hanya saja kelemahan ini tidak sampai berpengaruh terhadap perkembangan
semangat keilmuan dikalangan ulama ketika itu. Bahkan pada masa itu, trend
kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan sangat melimpah, termasuk bidang ilmu
ushul fiqh, dimana ilmu ini mengalami pertumbuhan dan pematangan.[23]
Mengutip pendapat Ahmad Amin,
Rachmat Syafe’i dalam bukunya menyebutkan bahwa bidang pemikiran fiqh Islam di
abad empat ini memiliki karakter tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam.
Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad mutlak berhenti pada abad ini.
Mereka menganggap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan, sehingga
seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikirannya yang khas, terkecuali
hal-hal yang kecil saja. Akibatnya, aliran-aliran fiqh yang ada di masa ini
semakin mantap eksistensinya, apalagi disertai oleh fanatisme dan pembelaan
dikalangan para penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut
suatu madzhab sewaktu-waktu.[24]
Terlebih di masa itu ada seruan untuk menutup pintu ijtihad (diserukan oleh
al-Qaffal, w 350 H), sehingga berpengaruh pada stagnasi perkembangan fiqh Islam.[25]
Kondisi ini berpengaruh buruk pada
perkembangan fiqh, namun ilmu ushul fiqh justru berkembang pesat, apalagi
masing-masing madzhab menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini, antara lain ditandai
dengan maraknya praktek-praktek tahqiq, pembahasan dan syarah
atas kitab-kitab ushul yang sudah ada sebelumnya melalui proses evaluasi atas
kaidah-kaidah ushul tertentu dan penelusuran sampai pada akar-akarnya. Kemudian
pembahasan dan syarah ini disusun dalam berbagai buku.[26]
D.
Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab
Pada masa imam madzhab inilah
pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan
perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara
pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai
sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh.
Imam
Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad ke-7 ke abad ke-8 hijriyah, misalnya,
menginventarisir sembilan belas dalil hukum, baik yang disepakati maupun yang
dipertentangkan para ulama, yang masih dikenal pada masanya. Kesembilan belas
dalil hukum itu antara lain:
1.
Al-Qur’an
2.
Al-Hadits
3.
Ijma’
ummat
4.
Ijma’
orang Madinah
5.
Qiyas,
6.
Pendapat
sahabat
7.
Maslahah
mursalah
8.
Istishab
9.
Bara’ah
ashliyah
10. Adat/‘urf
11. Istiqra’ (induksi)
12. Sadd al-dzariah (tindakan preventif)
13. Istidlal
14. Istihsan
15. Mengambil yang lebih mudah
16. Ishmah
17. Ijma’ orang Kufah
18. Ijma’ sepuluh orang, dan
19. Ijma khulafa’ yang empat (khulafa’ rasyidun).[27]
Perdebatan
mengenai dalil hukum, baik tentang sunnah, amal ahli Madinah, istihsan, qiyas,
maslahah mursalah, ijma’, ra’yu, mencapai puncaknya. Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat
menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika ada al-Hadits Rasulullah diriwayatkan
secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang tapi tidak mencapai
derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli
Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah
adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk
dari Rasulullah. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali
sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah, yang selama sepuluh
tahun hidup di Madinah.
Oleh
karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang
Mesir, yang isinya mengajak Imam laits untuk mempergunakan amalan orang
Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih
setuju mengutamakan al-Hadits, meskipun al-Hadits itu ahad.
Orang
Iraq, khususnya Imam Abu Hanifah, mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas,
meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum
Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut ditentang ulama lain
dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Iraq
juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi
orang Iraq, mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai
dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah Saw., tetapi riwayat
tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.
Penggunaan
amal Madinah oleh Imam Malik dan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tidak berarti
keduanya mengabaikan al-Hadits. al-Qur’an dan al-Hadits tetap menjadi pilar
utama istinbath hukum. Imam Malik adalah orang pertama yang menyusun kitab hadits,
yaitu dalam kitabnya al-Muwaththa’. Kitab al-Muwaththa’ adalah kitab hadits
yang dipergunakan sebagai dasar pemecahan masalah hukum sehingga disusun dengan
sistematika fiqh. Imam Abu Hanifah dan para muridnya juga sangat menghargai hadits.
Hasil istinbath hukum Imam Abu Hanifah dan orang-orang Iraq juga dipenuhi
dengan dasar al-Qur’an dan al- Hadits.
Penolakan
terhadap hadits tertentu terjadi karena keduanya mengutamakan riwayat yang
kuat. Bagi Imam Malik, amalan orang Madinah sangat kuat karena diamalkan ribuan
sahabat sejak masa Nabi Muhammad. Jadi, amalan orang Madinah tidak bisa
dikalahkan hanya oleh riwayat satu dua orang saja. Apabila riwayat tersebut
bisa dibuktikan secara meyakinkan tentu Imam Malik akan menerimanya. Hal yang
sama terjadi dengan Imam Abu Hanifah. Terjadinya pemalsuan hadits membuat
orang-orang Iraq bertindak selektif. Apabila ada riwayat yang diragukan kesahihannya,
mereka lebih merasa aman mempergunakan makna umum Al-Qur’an dan menjabarkannya
melalui ra’yu (nalar) mereka. Akan tetapi, kalau ada hadits yang shahih tentu hadits
tersebut yang dijadikan sandaran.
Sejalan
dengan munculnya pemalsuan hadits tersebut, muncullah aliran ingkar al-Sunnah.
Aliran tersebut berpandangan bahwa Al-Qur’an saja sudah cukup dijadikan sebagai
pedoman, tanpa perlu mempertimbangkan hadits. Aliran tersebut adalah kelompok
yang frustasi akibat terjadinya pemalsuan hadits sehingga menolak keseluruhan hadits,
tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Memang pada masa tersebut Imam
Bukhari, Imam Muslim dan para pengumpul hadits belum banyak seperti pada abad
ke-4 Hijriyah, meskipun telah ada beberapa kitab hadits. Terhadap munculnya
aliran ingkar al-Sunnah tersebut, Imam Syafi’i bekerja keras membantah
argumentasi kelompok ingkar al-Sunnah. Perdebatan Imam Syafi’i dengan ingkar
al-Sunnah bisa dibaca dalam kitab al-Umm.
Imam
Syafi’i kemudian mengajukan sistematika dalil hukum yang utama, yaitu:
1.
Al-Qur’an
2.
Sunnah
3.
Ijma’
4.
Qiyas
Melalui
sistematika tersebut, Imam Syafi’i menegaskan kembali Al-Qur’an sebagai sumber
pertama, sedangkan hadits sebagai sumber kedua. Dengan rumusan semacam itu, dia
menolak pandangan ingkar al-Sunnah dan juga menolak sikap sebagian ulama ushul
yang mendahulukan amalan orang Madinah atau makna umum Al-Qur’an dibandingkan hadits
ahad. Gagasan demikianlah yang kemudian melahirkan Madzhab Syafi‘i.
Imam Syafi’i melakukan
pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma’ dan qiyas para oleh
pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu
ijma’ ahli Madinah dan ijma’ orang Kufah. Beliau menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah
ijma’ umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah orang Madinah, atau ijma’
sahabat saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar dilakukan
secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas dilakukan, yaitu
melalui empat rukun qiyas, yang akan dibahas dalam bab qiyas nanti.
Karya
Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis.
Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu
yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri
ilmu ushul fiqh.[28]
Di kalangan
Madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul fiqh.
Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu
Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul fiqh.[29]
Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Muhammad
bin Hasan al-Syaybani.
Klaim
golongan Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan dengan munculnya gagasan
metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak memulai segalanya dari ruang kosong.
Rumusan-rumusan yang beliau tulis tentu telah dibicarakan orang pada masanya.
Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq memang kaya dan maju di masa itu. Hanya
saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki bukti otentik, berupa karya, yang bisa
menjadi patokan bagi dimulainya ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri.
Setelah
lahirnya kitab al-Risalah, perdebatan mengenai aspek metodologis masih terjadi
dan perbedaan pendapat pun masih ada. Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun murid
Imam Syafi‘i, hanya menerima ijma‘ sahabat, bukan ijma‘ umat. Imam Dawud
al-Dzahiri menolak penggunaan qiyas dan lebih condong untuk menggunakan makna
universal lafal Al-Qur’an atau al-Hadits untuk diberlakukan kepada kasus-kasus
baru.
E.
Kelahiran Karya-karya Besar Ushul Fiqh
Puncak
perkembangan ushul fiqh terjadi sekitar pada abad ke-5 Hijriyah. Pada masa
tersebut, lahir para ulama dan karya-karya ushul fiqh kenamaan yang menjadi
rujukan kitab-kitab ushul fiqh di kemudian hari. Di antara kitab-kitab penting
ushul fiqh yang lahir pada abad ke-5 tersebut antara lain:
1.
Kitab
al-Ahd atau al-Amd karya Qadli Abd al-Jabbar al-Mu‘tazili (w.
415H/1024M)
2.
Kitab
al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri al-Mu’tazili (w. 436H 1044M)
3.
Kitab
al-‘Uddah karya Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458H/1065M)
4.
Kitab
al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam karya Ibnu Hazm al-Dzahiri (w. 456H/1062M)
5.
Kitab
al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi‘i (w. 467H /1083 M)
6.
Kitab
al-Burhan karya Al-Juwayni al-Syafi‘i (w. 478H /1085M)
7.
Kitab
Ushul Al-Sarakhsi karya Imam al-Sarakahsi al-Hanafi (w. 490H/1096M).
Imam
Abu Hamid Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau abad ke-6, tetapi sebagian
hidupnya dihabiskan pada abad ke k-5. Karena itu, kitab al-Mustashfa
karya al-Ghazali dapat dimasukkan ke dalam jajaran kitab yang dilahirkan ulama
abad ke-5.
Di
antara kitab-kitab di atas, ada empat kitab yang kemudian memperoleh pengakuan
sebagai kitab terbaik dan mempengaruhi perkembangan ushul fiqh selanjutnya di
kalangan mutakallimin, yaitu al-Ahd karya Qadli Abdul Jabbar, al-Mu‘tamad
karya Abu Husayn al-Bashri, al-Burhan karya al-Juwayni, dan al-Musthasfa
karya al-Ghazali. Kitab-kitab tersebut disebut Ibnu Khaldun sebagai kitab ushul
fiqh terbaik. Empat kitab tersebut kemudian diringkas dan dijabarkan kembali
oleh para ulama setelahnya, khususnya para ulama abad ke-7 Hijriyyah, seperti
Fakhruddin al-Razi, al-Amidi, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan sebagainya.
Karena
itu, muncullah beberapa kesepakatan dalam berbagai kitab ushul mengenai
sistematikasi bahasan kitab ushul. Bahasan mengenai hukum, kaidah-kaidah-kaidah
kebahasaan, kaidah naskh dan tarjih, dalil hukum, dan ijtihad hampir ada di
semua kitab ushul fiqh mutakallimin yang berakar dari empat kitab di atas.
Perbedaan bahasan terjadi dalam beberapa aspek, misalnya tentang pengantar
logika, pembahasan kalam, dan tentang huruf, yang ada disebagian kitab ushul
dan tidak ada disebagian kitab ushul yang lain.[30]
F.
Kesimpulan
Ushul
fiqh juga merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul
fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam
menghasilkan fiqh. Pembahasan tentang siapa yang menjadi peletak dasar
kodifikasi ushul fiqh, hingga saat ini belum ada kata sepakat mengenai siapa
orang pertama kali memulainya, sekaligus meletaka dasar-dasarnya. Karena jauh
sebelum ushul fiqh dibukukan, para ulama telah membuat teori-tori ushul yang
dipegang oleh pengikutnya. Tak heran jika pengikut para ulama tersebut
mengklaim, bahwa gurunya yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh dan
menjadikannya sebagai kajian ilmu dan khazanah ilmu-ilmu Islam.
Namun
dari pemaparan makalah di atas penulis mengambil kesimpulan dan menganalisis
bahwa ulama yang pertama kali menyusun sebuah kitab ushul secara sistemastis
adalah imam Muhammad idris ibn al-Syafi’i yang kita kenal sebagai imam al-Syafi’i
yang mana beliau sebagai founding father madzhab syafi’iyah. Jadi imam syafi’I
bukan sebagai orang pertama yang mendesain ushul fiqh beliau hanya sebagai
penyusun atau penulis ilmu ushul fiqh secara sistematis karena jauh sebelum imam
al-Syafi’i para ulama sudah memperkenalkan ilmu tersebut.
Wallahu
A’lam Bishawab….
DAFTAR
PUSTAKA
Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of
Islamic Law, (Pakistan: Islamic Research Institute and International
Institute of Islamic Thought, 1945)
Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Iyad hilal, Studi
Tentang Ushul Fiqh (terj), Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005
Taqiyudin
an-Nabhani, Syakhsiyah Islam (terj): Pustaka Thariqul Izzah, 2003
Yusuf Isy, Dinasti
Abbasiyah (terj). Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007
Hafidz
Abdurahman, Ushul Fiqh, Membangun Paradigm Berfikir Tasyr’i, Bogor: al-Ashar
Press, 2003
Najmuddin al-Thufi,
al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan. 1998
Abu Zahrah.
Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat juga Noel James Coulson. History of
Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press. 1964
Wael B. Hallaq.
A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh.
Cambridge: Cambridge University Press.
1997
[1] Imran Ahsan
Khan Nyazee, Theories of Islamic Law, (Pakistan: Islamic Research
Institute and International Institute of Islamic Thought, 1945), hal. 1
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh,
Bandung: Pustaka Setia, 2007, hal. 27
[3] Iyad hilal, Studi Tentang Ushul Fiqh (terj),
Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005, hal. 116
[4] Rachmat Syafe’i, op. cit, hal. 28
[6] Ibid.,
[7] Rachmat Syafe’i, op. cit, hal 32
[8] Ibid.,
[9] Ibid., perdebatan ini juga terdapat dalam
tulisal saleh lapadi, loc. cit
[10] Saleh Lapdi, loc.cit.
[11] Ibid., hal 29
[12]
Taqiyudin an-Nabhani, Syakhsiyah Islam (terj): Pustaka Thariqul
Izzah, 2003, hal. 501
[13] Rachmat Syafe’i, op. cit, hal 29
[14] Ibid
[15] Lihat Iyad Hilal, op.cit., hal 122
[16] Ismail R. al-Faruqi dan Lois Lamya
al-Faruqi., op.cit, hal 307
[17] Rachmat Syafe’i, op.cit., hal 30
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Al-Hawji dalam Rachmat Syafe’i, op.cit.
hal 31
[21] Sulaiman dalam Rachmat Syafe’i, loc.cit.
[22] Yusuf Isy, Dinasti Abbasiyah (terj).
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, hal 53
[23] Ismail R. Al-Faruqi dan Lois lamya
al-Faruqi., loc.cit
[24] Rachmat Syafe’i., op. cit hal 32
[25] Lih hafidz Abdurahman, Ushul Fiqh,
Membangun Paradigm Berfikir Tasyr’i, Bogor: al-Ashar Press, 2003, hal 24
[26] Ismail R. Al-Faruqi dan Lois lamya
al-Faruqi., loc.cit
[27] Najmuddin al-Thufi. al-Ta’yin
fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan. 1998. h. 237-238.
[28] Lihat Abu Zahrah. Ushul Fiqh.
Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat juga Noel
James Coulson. History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press.
1964. h. 53 dst.
[29] Lihat Wael B. Hallaq. A
History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh.
Cambridge: Cambridge University Press.
1997. h. 127
[30] Imam al-Syirazi dikenal
sebagai pengikut Syafi’i yang non-Asy’ariyyah dan menjadi rival Imam al-Juwayni
dalam perdebatan (munadzarah) teologis. Lihat catatan mengenai perdebatan
teologis Abu Ishaq al-Syirazi dan Al-Juwayni dalam George al-Makdisi. The Rise
of Colledge: Institution of Learning in Islam and in The West.Edinburgh:
Edinburgh University Press. 1981. h. 154.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar